By
mysJ
….. Kemudian.
Nino masih terus dengan titik
fokusnya. Hanya memutar – balik handphone dengan perasaan gundah yang terus
memaksanya untuk segera menghubungi wanita yang kemarin siang memberikan kartu
namanya pada Nino. ini adalah squel saat – saat dimana Nino kalah dengan
perasaannya. Ia ingat sekali saat dimana Ia bertanya pada Dara tentang siapa
orang yang saat ini mengisi hatinya. Ia bahkan tak cukup tangguh untuk
meyakinkan dirinya dengan kenyataan yang sebenarnya mencabik – cabik
perasaannya. Nino kecewa.
“Ayoo angkat dong…..” Hanya nada
seperti bunyi kereta api uap yang Ia dengar dari dalam loudspeaker
handphonenya. Tak ada orang disana.
“Tut..tut..tut..”
“Yah, gak diangkat. Mungkin lagi
sibuk belajar atau gimana” Batin Nino dalam hati.
Nino
ingat akan kejadian malam itu. malam dimana Ia mengurungkan niatnya untuk
kembali berusaha menghubungi Dara. Di cerita sebenarnya, Dara bukannya tidak
ingin mengangkat telfon dari abang kelasnya semasa SD dulu tersebut, Ia hanya
sedang bersedih hati karena Dalan orang yang selama ini dekat dengannya
ternyata menaruh hati kepada salah seorang sahabat Dara. Malam itu dara hanya
ingin menghabiskan waktu dengan airmata. Jika bukan karena Nino tidak percaya
diri dimasa lalu? Mungkin sampai waktunya tiba Dara mengira bahwa nomer
handphone Nino adalah nomer handphonenya Dalan.
“Dara, ini Nino. Kamu lagi sibuk ya?
Kalo uda gak sibuk lagi mohon dibalas” singkat mungkin pesannya namun di squel
ini Nino berhasi mengingat dan memperbaiki kesalahannya. Cerita mulai berubah
alur saat ini. Nino yang sebenarnya tidak tahu apapun mengenai apa yang terjadi
jika ceritanya berubah. Apakah Dara akan membalas lalu merasa Nino membantunya
dalam memutar kesedihan yang Ia rasakan?
“Oh, kak Nino ya? Maaf kak tadi Dara
kirain siapa. Kakak lagi ngapain?” balasan pesan singkat dari Dara untuk Nino.
“Oh tuhan dia membalasnya! Beginikah
ceritanya jika dari dulu aku mengubah sifat pengecutku hanya untuk mempertebal
keberanian dengan sekedar meng-sms Dara?”
Jalan ceritanya berubah. Tak lagi
sama dengan kejadian di kehidupan nyata yang pernah Nino alami. Kehadiran Nino
sangat membantu Dara dalam menyisihkan kesedihan yang Ia rasakan. Nino tak
hanya bermakna seorang kakak kelasnya dulu, Ia juga mampu memikul beban yang
Dara rasakan dengan menjadi pendengar yang budiman saat Dara bercerita tentang
masalah yang Ia alami. Tak jarang Ia mendengar Isak Dara yang mencoba menghela
nafas saat Ia bercerita. Mungkin dadanya sesak mengikuti batinnya yang terikat
kuat diatas kenyataan yang terjadi.
Remang – remang wajah Tuan Pensil
mulai tampak tergambar. Alur kesalahan Nino telah berubah satu persatu. Namun
ada rasa tidak puas dimana saat Ia mencoba menikmati kesalahan yang beputar
arah menjadi sesuatu yang benar, namun peraturan didimensi itu memaksanya untuk
keluar sebelum Ia benar – benar merasa melepas kerinduan saat menjalani masa –
masa dimana Ia dan Dara bersama. Ya, ini bukanlah kesempatan untuk kembali
bernostalgia dan melepas rindu dengan orang yang Ia cintai. Tapi bagaimana Nino
memperbaiki puing – puing kesalahan dan penyesalannya menjadi sesuatu yang
paling benar dalam hidupnya.
Gambar baru muncul didinding ruang
dimensi ruang tersebut. Tergambar jelas wajah Dara yang tersenyum bahagia
mendengar guyonanku di telefon. Seiring dengan airmataku yang tiba – tiba jatuh
menetes.
“Kenapa Nino?” Tanya Tuan Pensil.
Namun aku hanya diam. Aku tak bisa berkata apapun tentang apa yang kurasakan
saat itu. entah rasa bahagia, rasa rindu, atau rasa kecewa aku tidfak begitu
mengerti. Yang kurasakan adalah begitu sesaknya dada untuk bisa mengetahui hal
apa yang terjadi jika saja sudah dari awal aku memperbaikinya. Sehingga sosok
Dara di kehidupan nyataku mungkin masih bersamaku dan tak ada penyesalan yang
kurasakan.
“Nino?” Tuan Pensil kembali
memanggilku. Aku hanya menoleh kearahnya dengan mata sembab dan air yang masih
saja keluar tak hent – hentinya.
“Ya?”
“Kamu harus kuat. Kita lanjut ke
cerita selanjutnya ya?” Tuan Pensil memberikan aba – aba. Aku hanya
menganggukkan kepala. Dan cahaya putih kembali kulihat dan aku kembali memulai
ceita selanjutnya.
Aku terdampar entah di latar yang
mana. Aku hanya melihat segelintir anak kecil yang berlari – lari dari atas
sebuah bukit. Ditangan kananku tergenggam sebuah botol gelembung udara dan
sebuah botol air mineral di tangan kiriku. Tiba – tiba dari bawah bukit datang
seorang wanita dengan kaos biru dan kulihat ditangannya ada 2 buah roti yang Ia
bawa kearahku.
“Ini kak. Maaf ya lama” Dara? Iya
dia Dara. Oh! Aku baru ingat alur ini. ini adalah kejadian dimana aku dan Dara
mengisi waktu luang yang kami miliki dengan bermain diatas sebuah bukit kecil
yang ada disekitar rumahku. Aku bahkan ingat dengan mengendarai apa aku kesini
dan kesalahan apa yang akan terjadi disquel ini. sebenarnya aku mengajaknya
kesini untuk menghiburnya. Kami bermain terlalu lama, gelembung – gelembung
bulat yang bergantian kami tiup dari atas bukit membuat waktu berlalu dengan
cepat.
“Sebelum kejadian itu terjadi, saya
antar kamu pulang saja ya?” Ajakku kepada Dara.
“Kejadian? Kejadian apa kak?” Dara
mulai mempertanyakan kalimat bodoh yang begitu saja terlontar dari mulutku.
Tentu saja Ia tidak tahu.
“Eh. Kejadian. Ehm” Aku mencoba
mencari pergantian kalimat agar Dara mengerti.
“Kejadian kalo sepedanya mau dipake.
Kapan – kapan kita kesini lagi. Aku janji bakal bawain peniup udaranya yang
lebih gede. Jadi gelembungnya pasti tambah gede. Gimana?” Dara mengangguk
dengan mimik wajahnya yang masih terlihat bingung. Tidak masalah buatku dia memahami
atau tidak. Meskipun dalam hati masih ingin berlama – lama dengan seseorang
yang aku cintai, namun jika harus melihat wanita yang kucintai harus dimarahin
oleh kedua orangtuanya beserta abangnya, lebih baik kebahagiaan yang sebenarnya
ingin sekali ku rasakan ku tunda saja. Bagaimana Dara bisa sampai tepat waktu
sebelum adzan maghrub berkumandang adalah hal yang lebih penting.
Kebahagiaannya adalah kebahagiaanku juga, kesakitannya adalah kesakitanku juga.
“Kamu gak malu jalan samaku naik
sepeda begini?” aku mencoba bertanya pertanyaan yang tak sempat kutanyakan pada
saat melangsungkan kejadian seperti ini dimasalalu. Namun setelah aku bertanya
kalimat tersebut padanya, untuk beberapa menit aku tidak mendengar sama sekali
jawabannya. Mungkin Ia tidak mendengar suaraku.
“Kamu gak mal…”
“Enggak kak! Kenapa kakak nanyak
gitu? Aku malah seneng naik sepeda begini bisa lihat pemandangan bagus lebih
jelas, kena angin yang seger” Jawab Dara yang duduk berboncengan denganku
dibelakang. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum. Aku sudah mengira kalimat
seperti itu yang akan kudengar darinya. Aku sudah kenal jauh seperti apa Dara
dan sifat yang selalu Ia pelihara dengan baik. aku berhasil mengantarkannya
sampai didepan pintu gerbang rumahnya.
“Kok sepi? Orang rumah lagi pigi
ya?” Tanyaku padanya.
“Ehm mungkin kak. Tapi sorry ya kak
ga bisa ngajak masuk soalnya ga pernah bawa temen cowo kerumah. Maaf ya?” Wajah
Dara yang memelas sontak membuatku tertawa kearahnya. Mimik wajahnya kembali
berubah melihatku yang tertawa bagitu Ia selesai memberikan statementnya.
“Kakak kenapa ketawa? Emangnya ada
yang lucu ya?” Dengan polosnya Ia bertanya kalimat yang mungkin membuatnya
berfikir hal – hal yang jauh dari fikiranku.
“Enggak kok haha. Abisnya kamu lucu.
Gemesin anaknya. Yaudah deh ya, aku balik dulu sepedanya mau dipake yang punya”
“Iya kak. Hati – hati ya” Dara
melambaikan tangan kearah Nino. Nino hanya tersenyum membalasnya. Setelah Ia
lihat sosoknya sudah masuk, airmatanya kembali tumpah. Nino berusaha keras membendungnya
sebelum benar – benar orang melihatnya. Namun apa yang mengganjal perasaanya
membuat Ia tak kuat membendungnya terlalu lama.
“Jangan keluar lagi bodoh!
Seharusnya kau bahagia bisa melihatnya pulang tanpa amarah orang tuanya serta
saudara – saudaranya yang dulu pernah kau lihat!” Nino mencoba meyakinkan
dirinya dengan logika apapun yang mungkin bisa membantu airmatanya untuk
berhenti mengalir.
“Jadi Cowok jangan cingeng! Kuat!
Aku harus kuat!” Nino mengayuh sepedanya dengan tangannya yang tergenggam
begitu kuat. Ia sadar apa yang Ia rasakan saat ini tak lebih dari rasa rindu
yang tumpah – ruah setelah apa yang dulu pernah Ia harapkan terjadi padanya
lagi. Yaitu harapan bisa mengulang kesalahan – kesalahan yang pernah Ia lakukan
kepadanya.
Tuan Pensil melihat kearahnya. Ia
menunjukkan wajah bahagia Dara yang tercetak dari hasil yang telah kulakukan
pada alur cerita yang baru saja Ia selesaikan. Nino hanya tersenyum kearah Tuan
Pensil demikian juga dengannya.
“Kamu tidak menangis lagi?” Entah
Maksud Tuan Pensil mengejek atau heran melihat mataku kering tak seperti squel
sebelumnya yang ku lewati.
“Tuan bermaksud meledekku?” Tanyaku
dengan mimik wajah yang heran begitu mendengar Ia bertanya kalimat tentang
airmataku yang tidak mengalir seperti sebelumnya.
“Oh, ofcourse bukan. Aku hanya ingin
dengar alasan yang Nino punya” Ia bertanya sambil melihatku dengan penuh
keyakinan.
“Didalam squel itu tepatnya aku
sudah menangis hebat. Airmata mungkin tak akan pernah kering Tuan, tapi apa
yang akan ku jelaskan pada diriku sendiri jika terus – terusan menangis?
Menangis memang melegakan sesak didada. Namun tidak menyelesaikan sedikitpun
masalahku” Tuan Pensil hanya tersenyum kearahku. Aku yakin kepercayaan yang Ia
punya padaku jauh lebih besar dibanding kepercayaanku kepada diriku sendiri,
itu jelas terbukti mengingat pengalamannya dalam membantu orang – orang
sepertiku yang sudah tentu punya masalah yang jauh diatasku.
“Kamu harus segera menyelesaikan
dimensi ini agar segera keluar sebagai manusia yang mendapatkan pelajaran yang
lebih berharga”
Dimensi kembali berganti. Gambarnya
masih tertutup kabut putih. Sebuah taman dengan salah seorang anak SMA yang
duduk sendiri memeluk boneka teddy bear-nya. Nino hanya menghela nafas. Tak
perlu menghabiskan tenaga untuk mengingat kejadian apa didimensi tersebut,
karena dikehidupan nyata, satu – satunya dimensi yang Ia ingat dan membekas
dihatinya adalah saat – saat dimana Ia
berhadapan dengan sebuah pilihan rumit. Melawan dirinya untuk tidak
berucap kalimat putus untuknya”
“Ini Cappucino dinginnya.” Tanganku
bergerak mengarahkan cappuccino dingin kesukaan dara kearahnya. Namun Ia masih
merunduk tak mengangkat kepalanya meskipun aku tahu Ia sedang menutupi
airmatanya dariku.
“Kamu gak mau cappuccino dinginnya?”
Tawarku lagi. Dara masih tetap diam dan tertunduk sambil memeluk boneka teddy
bear yang pernah kuberikan padanya tepat pada saat anniversary hubungan kami
yang ke – 6 bulan.
“Kamu kenapa? Kalo ada masalah
cerita aja samaku.” Aku bersedia menjadi relawan setia untuk selalu
mendengarkan ceritanya. Baik itu masalah ataupun cerita – cerita konyol
koleksinya yang terkadang membuatku jengkel. Dara tidak pernah sekalipun
memperlihatkan kelemahannya kepadaku. Namun tidak pada hari itu, hari dimana Ia
tak bisa berhenti memikirkan kalimat – kalimat yang terlontar dari abang
kandungnya sendiri Farid. Aku tentu masih ingat akan alur ini. bahkan aku juga
bisa mengingat aroma dan orang – orang dengan pakaian warna apa yang berlalu
lalang melintasi taman tersebut. Karena ini adalah klimaksasi saat – saat
dimana kesalahan terbesarku yang tidak mampu lagi menopang seberat apapun
pilihan yang harus ku pilih. Bang Farid akhirnya tahu bahwa sang adik Dara
menyimpan sebuah hubungan rahasia denganku dibelakangnya. Ia fikir Dara masih
terlalu kecil untuk mengenal cinta dengan segala resiko yang bisa saja
mengganggu proses belajar sang adik perempuan satu – satunya itu. dan aku paham
kebaikan apa yang bang Farid coba ajarkan untuk kami.
“Kamu masih mau diem aja? Kalo
enggak aku pulang nih?” aku beranjak berdiri. Sengaja memancing Dara untuk
membuka mulutnya dan berbicara masalah yang sebenarnya sudah ku ketahui. Sontak
darahku mengalir naik begitu jemari – jemarinya menahan langkahku untuk
bergerak meninggalkannya. Untuk itu aku berusaha menggenggam keras kedua
tanganku untuk tidak menangis. Ini bukan saatnya menangisi hal yang sudah
kuketahui di dunia nyata. Sekarang aku sudah berada di dunia dimensi bukan?
“Aku bingung No, mau cerita dari
mana. Aku takut” Dara berbicara dengan suaranya yang bergetar dan matanya yang
memerah.
“Loh? Kamu kenapa kok nangis?”
sontak langsung ku usap linangan airmata yang mengalir di pipinya dengan sapu
tanganku.
“Kan aku udah bilang, kalo ada
masalah kita harus sama – sama cerita, jangan diem – diem sendiri. Udah kamu
tenang ya?” sebenarnya nada suaraku sudah kutahan untuk tidak terdengar
gemetar. Hanya untuk menguatkan dirinya agar tidak terus menetesi airmata.
“Aku bingung No mau cerita gimana,
darimana. Ini tentang hubungan kita” Ya tuhan, inikah yang bisa kurasakan jika
dari dulu aku sudah tahu apa yang sebenarnya Dara pendam untukku? Jika saja aku
sudah tahu dari dulu mungkin menghiburnya dengan membuatnya yang menangis
sebagai bahan leluconku tak akan pernah kulakukan.
“Bang Farid udah tau hubungan kita.
Aku ga pengen putus sama kamu, tapi….”
Aku mencoba merubah fikiranku untuk
tidak terprovokasi sebagai orang yang datang dari masadepan dan ingin
memperbaiki kesalahanku dimasalalu. Seharusnya aku bisa memporsikan diri dimana
dan dengan situasi apa aku berada. Logika ku mulai bermain. Apa yang harus ku
perbaiki dari alur yang satu ini? dimasalalu mungkin aku menyerah dan
mengakhiri hubunganku hanya karena kufikir memang yang terbaik adalah dengan
berpisah. Bukankah itu yang terbaik? Bahkan tak harus punya cukup waktu yang
lama untuk seorang Dara mencari penggantiku, Arka. Akulah yang harus menyendiri
dan gagal untuk melihat masa depan hanya karena kenyataan yang kulihat
membuatku tak mampu melakukan apa – apa. Rasanya mengetahui orang yang kita
cintai pergi terlalu cepat dengan orang lain adalah salah satu pembodohan
terbesar untuk melepaskannya begitu saja dulu. Lalu logika ku menyatu dengan
perasaan yang kurasakan. Sebuah pertanyaan besar terputar diotakku
“Apakah aku tidak ingin melihat apa yang
terjadi denganku dan Dara jika hubungan ini tetap kami pertahankan dengan
merahasiakannya dari Bang Farid?”
“Sejauh mana Aku dan Dara bertahan
dan mencapai klimaksasi jika masalah ini berhasil kami atasi dengan pilihan
yang berbeda dengan masalalu?” Tak ada hal lain yang ku fikirkan selain
bagaimana caranya tetap bertahan dengan Dara dan merahasiakannya dari Bang
Farid.
“Aku tetap bertahan, meskipun
artinya harus memiliki hubungan yang terbungkus plastik hitam denganmu”
“Semuanya begitu saja berlalu. Dara
dan Seorang Nino yang bertahan dengan hubungan dibelakang abangnya, Farid.
Teramat jauh kulihat hubungan itu jika saja sedari awal ku perjuangkan apa yang
telah Dara percayakan padaku. Ia bahkan tak perlu mengenal Arka karena hanya
ada seorang nama yang Ia miliki jauh dilubuk hatinya yang paling dalam”
Airmatapun
kembali membasahi lantai dimensi tersebut. Nino menarik dirinya keluar dengan
sendirinya tanpa melihat apalagi hal yang bisa terjadi dikedepan harinya. Ia
melihat dirinya berdiri dengan sekuat tenaganya menahan airmata untuk kembali
tumpah dihadapan Tuan Pensil. Sementara Tuan Pensil tersenyum kearahnya. Senyum
yang menggambarkan sebuah kesuksesan percis sama ketika Tuan Pensil menunjuk
sebuah gambar yang baru saja muncul dari dimensi alur yang baru saja Nino
bereskan. Nino tak habis fikir dengan apa yang Ia lihat dari gambar tersebut.
Seorang Pria dewasa dengan Wanita yang anggun dan rambutnya yang tergerai
panjang disampingnya dan sepasang anak yang kelihatanya kembar sedang bermain
bersama disebuah bukit yang tentu saja Ia kenal. Ya, bukit yang pernah juga
menjadi saksi bisu hubungannya dengan orang yang paling dicintainya, Dara.
“Itu aku, Dara dan anak – anak
kami?” Mata kosong Nino mencoba bertanya-tanya kepada Tuan Pensil yang masih tersenyum
kearahnnya”
“Itu keluargaku Tuan?” Nino masih
tidak bisa mempercayai apa yang Ia lihat.
“Kenapa menarik dirimu keluar
sebelum kau lihat betapa indahnya kelanjutan hubunganmu dengannya hingga
kejenjang pernikahan dan mempunyai sepasang anak kembar yang lucu – lucu?”
“Tapi, tapi. Aku gak tau” Nino masih
telihat tidak mempercayai kenyataan didimensi tersebut.
“Jika Saja, Andai Saja, Seharusnya, Semestinya saat itu tidak kau
lepas rebahan kepala Dara yang tersandar dibahumu, mungkin begitulah takdir
Tuhan kepada kalian” Petuah Tuan Pensil untuk Nino.
“Tapi Tuan itu artinya Dara Jodohku
bukan? Mungkin kami tidak dipertemukan dihubungan masalalu kami, mungkin?” Nino
memberhentikan kalimatnya melihat Tuan Pensil menggeleng – gelengkan kepalanya.
“Mungkin kalian tidak dipertemukan
dihubungan masaalalu kalian, karena kalian memang bukan jodoh. Mungkin saja
jika akhirnya takdirmu menikahi wanita bernama Dara dan mempunyai anak lalu
kalian bercerai? Itulah alasanku bertanya kenapa kau menarik keluar dirimu
sebelum dimensi itu menarikmu keluar? Seharunya kau tahu apa yang terjadi
setelah foto itu”
“Aku tidak suka dengan ketidak
realisitisan Tuan. Itulah alasanku menarik diriku keluar.”
“Ya!
Memang itulah jawaban yang ingin ku dengar. Dengar Nino, kunci untuk keluar
dari dimensi ini adalah saat kau mengerti realistis di dunia khayalmu dan
realistis di dunia nyatamu. Banyak dari anak – anak yang gagal keluar dari sini
karena mereka begitu larut dalam cerita yang mereka saksikan, tanpa keluar
sebagai pemenang. Pilihanmu untuk keluar dari dimensi di foto itu sebelum
waktunya tepat sekali. Karena dengan melihat kejadianmu semakin kedepan,
penyesalanmu akan bertambah besar. Dan kau keluar sebagai pecundang bukan
pemenang”
“Aku ingin berterimakasih kepadamu
Tuan. Karena sudah banyak membantuku disini” Tuan Pensi mengangguk kearah Nino.
“Kau akan keluar dari dimensi ini
saat kau pejamkan matamu selama 10 detik, cepatlah bangun dan implementasikan
realistis di dunia mu yang sebenarnya”
“Tuan tidak kah kau ingin ikut
bersamaku?” Tanya Nino kepada Tuan Pensil.
“Tak ada Pensil yang hidup didunia
nyata Nino, pergilah.” Nino membalas senyuman kearah Tuan Pensil. Sebelum benar
– benar pergi dan mungkin tak akan pernah kembali lagi kedunia yang awalnya
putih dan sekarang sudah tertutup oleh gambar – gambar dimensi yang berhasil
Nino perbaiki. Sebelum Ia memejamkan matanya, Ia berjalan mendekat kearah
Gambar Ia, Dara, dan kedua anak kembar mereka.
“Bahagia
sekali melihat kalian ada. Jika memang demikian takdirku. Kita akan bertemu”
*****
Dimensi
Selesai *****
Matanya mengara kearah jam didinding
ruangan tersebut, tepat pukul 03.56 pagi Nino terbangun dari lelapnya, ruangan
tersebut tidak seperti ruangan kamarnya. Banyak selang – selang, dan aroma
ruangannya juga tidak familiar untuk indera penciumannya. Setelah
diperhatikannya ternyata selang oksigen terpacak dan membantunya bernafas.
Tangan kirinya juga tersambung selang infus Ia mulai berfikir sedang dimana dan
ada apa dengannya saat itu. tak ada orang diruangan itu, namun tak lama
berselang setelah Ia sadar Ibunya datang keruangan tersebut dengan ekspresi
wajah terkejut berlari dan memeluk anaknya yang sedang dipembaringan.
“Ya Allah Nak, akhirnya sadar juga
Alhamdulillah ya Allah. Kamu gak papa kan Nak? Apa perlu mama panggilkan
Dokter?” Mamanya datang dan dengan cemasnya mengkhawatirkan kondisi sang Anak.
Tak lama seorang Dokterpun datang memeriksa keadaan Nino, begitu bahagianya
sang Mama mendengar bahwa Nino telah tersadar dari masa Komanya. Namun tak
membuat rasa bingung Nino terhenti sampai disitu, Ia bahkan tidak mengerti apa
yang sebenarnya terjadi dengannya. Mengapa Ia berada dirumah sakit dengan
kondisi yang memprihatinkan seperti sekarang.
Selang oksigen dilepas dari
hidungnya, kini Nino bisa sedikit bernafas lega karena Dokter mengatakan
kondisinya kian membaik.
“Terimakasih mbak” tutur Nino kepada
salah seorang suster yang telah selesai mencopot selang oksigennya. Nino masih
bingung dengan keadaannya. Ia belum menemukan waktu yang pas dengan Mamanya
untuk bertanya ada apa dengannya. Sang Mama datang setelah selesai mendengarkan
nasehat Dokter.
“Ma? Ada apasih sebenernya? Kok tau
– tau Nino udah dirumah sakit begini?” Nino memaksa Mamanya untuk segera
bercerita tentang kejadian yang Ia alami.
“Kamu koma nak, udah 3 minggu kamu
gak sadar.” Mama menjelaskan sambil menitikkan airmatanya melihat sang anak
telah sadar dari komanya.
“3 Minggu Ma? Emangnya aku kenapa? Sakit
apa?” Nino kembali penasaran.
“Kata dokter ada pebekuan pendarahan
di otak kamu. Mama juga enggak ngerti waktu pagi Mama mau bangunin kamu tapi
kamu gak bangun – bangun. Terus Mama langsung bawa kerumah sakit sama Mang
Yono. Alhamdulillah akhirnya kamu kebangun juga. Awalnya udah pupus harapan
Mama ngeliat kamu, tapi begitu Mama keluar dari kamar mandi tadi Mama kaget
ngeliat kamu yang udah sadar”
“Pendarahan di otak Ma? Tapi
sekarang udah sembuhkan Ma?” Nino mengkhawatirkan keadaannya. Pantas saja Ia
merasa pusing ketika Ia melihat kecermin ternyata ada perban yang melingkar
dikepalanya.
“Kata Dokter tadi kamu harus dicheck
up dulu buat mastiin gimana pendarahan diotak kamu sekarang” Sang Mama berusaha
membuat sang anak tenang. Namun itu tak membantu Nino sama sekali. Ia malah merasakan
sakit dikepalanya saat Ia mengingat kejadian di dunia dimensi saat dia Koma. Ternyata
dunia dimensi benar – benar hanyalah dunia khayalannya. Tapi kenapa terasa
begitu nyata?
Teman – teman Nino datang silih
berganti. Berharap sahabatnya itu bisa lekas sembuh dan bisa kembali bersekolah
seperti biasanya. Syadan, Rahma, dan Rangga sengaja mengulur waktu untuk tetap
menemani sahabat terkedat mereka itu dirumah sakit. Bahkan Rangga berniat ingin
menemani Nino dirumah sakit hingga Ia diperbolehkan kembali kerumahnya.
“Oh iya No, waktu lo koma, lo
ngeliat apa aja? Jumpa malaikat gak? Nabi? Mungkin Tuhan?” Rahma bertanya
tentang pengalaman koma salah seorang sahabatnya itu. namun statementnya
membuat yang lain tertawa terbahak – bahak.
“Lo kira Nino uda dikubur sampe
jumpa malaikat? Pertanyaan lu aneh – aneh aja deh” Celetuk Rangga.
“Itu dia yang mau gua ceritain ke
kalian. Waktu koma aku ga ngerti gimana bisa tau – tau gua terdampar di sebuah
dunia kosong putih bersih gak ada siapapun disana. Terus..”
Nino menceritakan dengan detail
kejadian yang Ia alami selama Ia koma. Sahabat – sahabatnya terlihat seksama
mendengarkan Ia bercerita. Meskipun Rangga bingung dan tidak mengerti dengan
apa yang Nino ceritakan, demikian juga dengan Nino. Sampai saat ini Ia masi
belum paham tentang kejadian yang Ia alami selama Koma tersebut. Yang Ia
ketahui bahwa setelah keluar dari dimensi tersebut seharusnya Ia sudah terlepas
dari perasaannya kepada Dara, namun tanpa diduga Ia masih merasakan perasaan
tersebut kepada Dara. Itu terbukti ketika Ia bertanya kepada para sahabatnya
tentang Dara.
“Waktu gua koma, si Dara ada jenguk
gak?” Tanya Nino yang sontak membuat serempak wajah ketiga sahabatnya cetus.
“Tauk. Emangnya gua bodyguardnya.”
Celetuk Rahma
“Tauk, emangnya dia siapa kita?”
Sambung Rangga
“Gua serius Tanya sama kalian. Ada
atau enggak?” Nino mempertajam pertanyaannya.
“Gini ya No. buat apa sih lo mikirin
dia? Barusan lo sendiri yang cerita ke kita kalo lo udah berhasil moveon dari
dia. Terus apa hubungannya sama kehadiran dia jenguk lo?” Jelas Rangga.
“Bukan begitu, gua Cuma pengen tau
doang. Udah itu aja” Ke-empat – empatnya serempak membisu. Nino paham betul
bahwa hal apa yang dilakukan para sahabatnya tersebut tak lebih karena rasa
agar dirinya tidak lagi memikirkan sang mantan. Namun hati Nino tetaplah
hatinya, teman – temannya mungkin bisa bersikap acuh saat Nino bertanya tentang
kedatangan Dara. Namun apakah hati Nino bisa berbohong jika Ia berharap Dara
menemuinya saat Ia koma?
Kejadian tersebut membuat para teman
– temannya kembali kerumah masing – masing termasuk Rangga yang pada awalnya
berjanji akan tinggal dirumah sakit sampai Nino sembuh. Hanya Mamanya lah
harapannya satu – satunya.
“Loh, Syadan, Rahma sama Rangga mana?”
Tanya sang Maa sambil membawa makan siang Nino.
“Tauk.” Singkat Nino.
“Oh iya Ma, Nino mau tanya. Waktu
Nino koma ada temen cewek Nino jenguk gak Ma?”
“Ya ada. Banyak malah. Kenapa
emang?” Mama memaikan nada pertanyaannya yang terkesan curiga akan maksud dari
pertanyaan sang anak.
“Ehm. Bukan kawan SMA aku Ma. Ada?”
Nino berusaha mengikuti permainan sang Mama.
“Yang bukan kawan SMA maksud
kamu? Kayaknya ada deh. Namanya…..” Mama
berusaha mengingat daftar nama – nama penjenguk saat Nino koma. Namun
kelihatannya Ia tak ingat sama sekali.
“Dara?”
“Nah, iya! Dia datang sendirian 2
hari yang lalu. Pas sama temen – temen kamu tadi datangnya. Tapi yang anehnya
pas cewe itu datang ketiga temen kamu langsung ekspresi muka nya berubah. Emang
kamu gak tanya sama temen – temen kamu tadi?” Nino mengetahui begitu besarnya
simpatisan para sahabatnya, namun dilain pihak , jauh didalam hatinya yang
paling dalam sesungguhnya Ia masih begitu mengharapkan Dara, seberapa
lantangpun suara Nino untuk berkata bohong kepada teman – temannya tak
sedikitpun membuat perasaannya ikut terbohongi, apa lagi bila Ia mengingat
kejadiannya dengan Dimensi aneh yang Ia alami semasa koma beberapa waktu lalu,
tidak secara langsung kejadian itu membuatnya berfikir jauh lebih yakin bahwa
perasaannya sebenarnya mungkin saja masih bisa di pertimbangkan. Apalagi
setelah mengetahui Dara sempat mengunjunginya beberapa hari yang lalu.
“Si Dara itu sendirian Ma?” tanya
Nino balik. Mama berusaha mengingat – ingat kejadian tepatnya.
“Sepertinya dengan seorang Pria,
tapi Pria itu enggak ikut masuk. Emangnya kenapa sih?” Nino yakin sekali pria
yang dimaksud sang Mama tidak lain & tidak bukan pasti Arka. Perasaanya
seketika membeku rasanya tidak pantas saja mengharapkan masalalu yang sebenarnya
sudah tidak berarti dimata Dara.
“Enggak papa Ma.” Jawab Nino
singkat. Semalaman Nino termenung tak bisa memejamkan matanya hanya karena
fikirannya yang mencoba bermain – main dengan analogi perasaannya. Seluruh
kejadian baik didunia nyata maupun didimensi yang Ia lewati Ia coba gabungkan
menjadi satu dengan harapan bisa menciptakan sebuah alasan yang baik. namun
sepertinya hatinya tidak pernah bisa dipermainkan, termasuk bila harus
membohongi perasaan kepada dirinya sendiri.
*****
Continue *****
“Nino, bangun nak. Pasti semalam kau
begadang” Mama mencoba membangunkan sang anak yang tak kunjung bangun padahal
hari sudah mulai terik. Ninopun menggerakkan badannya yang semakin hari semakin
membaik ke kamar mandi, pengelihatannya masih memburam Ia tidak dapat melihat
dengan jelas siapa – siapa saja orang yang berjalan disamping atau didepannya.
Ia terlihat masih belum benar – benar sadar dari tidurnya. Namun rasa gerahnya
membuat langkahnya tak begitu saja terhenti apa lagi ingatannya begitu kuat
untuk segera membasuh seluruh badannya yang sudah lengket dengan air.
“Siapa namanya Nak?” diruang tempat
Nino menginap, datang seorang Wanita yang ingin menjenguk Nino. Kebetulan sang
Mama berada disana menunggu sang anak selesai membersihkan dirinya.
“Dara tante. Kalo si Nino masih
mandi, saya tunggu diluar saja. Ini buah – buahan buat Nino tante” Mamanya
langsung melihat jeli wajah dan mencoba berfikir tentang siapa si ‘Dara’ yang
kemarin malam sempat Nino tanyakan. Seberapa pentingnya si ‘Dara’ ini sampai –
sampai menjadi orang pertama yang Nino tanyakan dibanding teman – teman
sekolahnya yang lain.
“Oh, iya makasih Dara. Tante temenin
ya diluar?”
“Oh enggak usah tante, Dara liat
tante lagi sibuk membereskan kamar Nino. Saya mau liat pemandangan di rumah
sakit ini. Permisi tante” Sang Mama membalas senyuman perkataan Dara Ia sempat
berfikir bahwa mungkin saja Dara adalah orang yang special dimata Nino. Namun
sepertinya tidak mungkin, mengingat Nino selalu bercerita tentang siapa saja
wanita yang dekat dengannya.
“Ma, Kata Dokter Nino udah
diperbolehin pulang?” Nino kembali kekamarnya selesai ari kegiatan maninya
dengan rambutnya yang basah.
“Kamu tau dari mana?”
“Tadi Nino simpangan sama Dokter,
katanya begitu. Mama sebaiknya coba jumpai lagi gih si Dokter?” Tutur Nino.
“Iya, sebentar ya. Oh Ia itu temen
kamu si Dara datang sekarang dia lagi diluar. Coba cari sana, ini buah dari
dia” Mama menunjuk kearah keranjang yang penuh dengan buah – buahan sambil
pergi meninggalkan Nino dikamarnya untuk menjumpai Dokter yang merawat Nino.
Nino terlihat membisu. Matanya kosong dan tangannya berhenti dengan kegiatan
menghusap – husap kepalanya yang sejak selesai dari mandinya Ia lakukan. Ia
hanya menatap kosong keranjang yang penuh dengan buah – buahan itu. Ia bahkan
benar – benar tak menyangka orang yang membencinya masih mampu meringankan
hatinya untuk menemui sang mantan yang pernah melukainya beberapa tahun lalu.
Nino pun keluar untuk menemui orang yang kedatangannya begitu lama Ia tunggu.
Dan saat ini orang itu berleluasa meringankan hatinya untuk bertemu dengan
mantan yang Ia benci. Bagaimana bisa?
“Dara?” Panggil Nino kepada seorang
wanita yang mengenakan kemeja kotak – kotak yang terlihat sedang bercengkrama
dengan salah seorang pasien dirumah sakit tempat Nino dirawat.
“Eh, sebentar ya mbak.”
“Nino? Kamu udah sadar?” Dara sontak
berdiri melihat Nino yang dengan bugarnya berdiri dihadapannya. Nino mengangguk
sambil tersenyum kearahnya.
“Kita cari tempat duduk yuk? Aku
juga belum begitu sehat.” Dara mengangguk.
Dibawah
sebuah pohon beringin yang besar, terlihat sebuah bangku taman yang kosong tak
ada yang duduk disana. Nino dan Dara terlihat mengarah kearahnya.
“Oke, sekarang saatnya lo ceritain
kenapa bisa dan bagaimana ceritanya?”
“Cerita yang mana ra?” Nino berbalik
bertanya.
“Ya cerita kenapa lo bisa koma sampe
berminggu – minggu No.” Jelas Dara.
“Oh, ada pembekuan darah diotakku.”
Jawab Nino singkat dan dengan nada yang melemah. Dara memfokuskan pandangannya
kearah mantan pacarnya tersebut.
“Kenapa Ra?”
“Pembekuan darah diotak dan lo
nganggep biasa aja gitu No?”
“Terus kenapa?” Tanya Nino.
“Terus kenapa lo peduliin aku Ra?
Bukannya aku orang yang lo benci? Bukannya aku orang yang pernah gitu aja
nyampakin lo terus akhirnya ngemis – ngemis ke lo buat balik sampe pada
akhirnya”
“Cukup No!!” Dara dengan lantangnya
memotong kalimat pembicaraan Nino yang terdengar berbaur dengan usahanya untuk
menahan emosi.
“Aku ga pengen bahas itu. yang
terpenting kesehatan lo sekarang!” Jelas Dara. Nino sontak memalingkan wajahnya
yang tertunduk dan melihat dara dengan sorotan matanya yang terlihat mulai
membasah dan menetes begitu saja tepat dihadapannya.
“Lo masih perhatiin gua? Buat apa?!
Aku fikir kamu udah lupain aku gitu aja kayak sampah! Terus sekarang? Jangan
maini perasaan aku Ra! Bertahun – tahun aku berjuang buat ngelupai dan ngapus
apa yang udah terjadi. Gak semudah ngatakannya Ra! Butuh waktu yang lama dan
semua itu bener – bener ngabisin waktu gua dengan percuma!” Dara terlihat
melawan tatapan Nino dengan tidak melihatnya. Matanya masih sama dengan mata
yang Nino lihat ketika Ia mencoba memperbaiki hubungan yang terlajur pecah itu.
Sepertinya sia – sia saja meyakinkan perasaan wanita yang sedang kasmaran
dengan cinta barunya.
“Aku Cuma pengen lo sebagai temen
gua bisa sembuh total No. gak ada maksud buat balikin harapan atau apalah itu.”
“Emang gampang ya Ra ngomong kalo ga
ngerasain! Dengan kemunculan lo yang tiba – tiba terus gua yang masih sayang ke
lo?”
“No?” Potong Dara dengan nada
suaranya yang terdengar melemah.
“Cobak deh berenti buat mikirin
masalalu. Aku memang udah enggak ada sama sekali. Buat ngembaliin semuanya sama
susahnya kayak lo ngelupain semua yang pernah terjadi. Aku ga menghalangi
takdir tapi mungkin untuk saat ini aku enggak bisa. Aku nganggep kamu temen, ga
lebih. Jadi berentilah No buat terus – terusan berharap, aku takut kamunya yang
makin sakit.”
Nino menggenggam sekuat tenaga
kepalan kedua tangannya. Matanya tertutup seperti orang yang mencoba menahan
luka yang tersiram cuka. Nada – nada dan kalimat yang tidak pernah mau untuk Ia
dengarkan lagi, percuma saja berbicara baik – baik dengannya jika memang sudah
tidak ada cerita untuknya mau bagaimana lagi? Nino hanya berusaha menarik dan
menghela nafasnya berulang – ulang. Sepertinya sudah terlalu lama dan terlalu
berat Tuhan mengujinya hingga sejauh ini.
Nino hanya mengangguk – angguk
mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibirnya. Ia hanya berusaha
menjadi pendengar yang baik, karena hanya dengan begitu Ia memahami bagaimana
hati wanita yang Ia sayangi.
“Udah kan? Aku kesini Cuma mau liat
kondisi kamu aja. Assalamu’alaikum.” Dara berdiri dan melangkahkan kakinya
meninggalkan Nino sendiri. Hanya tangisan yang mampu mengartikan bagaimana
perasaan kecewanya saat itu.
“Seharusnya aku tidak terlalu bodoh
untuk mempercayai duniaku dan dunia mu Ra” Dara pergi meninggalkannya. Sejauh
matanya Ia hanya melihat kehampaan, rasanya tidak mengapa Tuhan kembali
membuatnya koma atau bahkan mati sekalipun. Nino benar – benar merasa hidupnya
begitu tragis, lebih tragis dari hidup – hidup orang yang jauh harus berjuang
untuk hidupnya. Terlebih lagi mengingat begitu saja Ia pergi.
“Arka
sudah benar – benar mengubahmu Ra. Atau aku yang masih begitu mencintai dirimu
yang dulu?” Alibi alibi bermunculan dibenaknya. Rasa sakit yang Ia rasakan
berbaur dengan kesakitan yang Ia rasakan dari kepalanya, darah keluar dari
hidung dan kupingnya, dan seketika dunia menghitam dan membuatnya tidak
sadarkan diri.
Nino bisa melihat dirinya
dipembaringan, Ia hanya bisa melihat tanpa mampu menyentuhnya. Sang Mama
terlihat histeris dan sudah berulang kali tak sadarkan diri melihat kondisi
sang anak yang terbaring diatas pembaringannya. Nino sadar bahwa ternyata Ia
suah tiada. Tuhan telah mengabulkan doanya seketika dan begitu menyesalnya Ia
melihat sang Mama yang terus – menerus tidak sadarkan diri hanya karena melihat
jasad anaknya terbaring kaku dihadapannya. Nino berusaha kembali ke raganya,
namun percuma saja. Sepertinya Tuhan sudah menakdirkannya tiada. Demikian
dengan para sahabatnya yang tak kunjung berhenti menitikkan airmatanya, namun
sosoknya tak begitu saja datang menghampiri. Ia sadar bahwa kebencian dan
kehampaan yang Dara rasakan jauh lebih besar dibanding apa yang Nino rasakan. Sampai
untuk melihat orang yang pada akhirnya meninggal setelah memohon padanya saja
Ia enggan. Masalalu mungkin mengajarkan banyak hal namun masalalu jugalah yang
mampu mengubah seseorang menjadi orang lain. Sikap Dara yang seolah – olah
membencinya mungkin adalah ekor dari apa yang Nino lakukan padanya dimasalalu.
Tak perlu menyesali kesalahan yang kita lakukan, sebab penyesalan yang tidak
diiringi dengan pelajaran hanyalah omong kosong belaka. Walaupun pada akhirnya
orang dimasalalu itu datang lalu meminta maaf bagaimana caranya hatimu untuk
memaafkan dan mulai mempercayainya kembali adalah seberapa besar keinginanmu
untuk kembali memberinya kesempatan. Tak ada hal yang benar – benar sia – sia
dimata Tuhan, karena hambaNya yang menyaring kesalahan dan belajar darinya
adalah pemenang sejati.
Meskipun engkau (Dara) datang
dipembaringan terakhirku aku masih benar – benar kecewa melihatnya memelukmu
yang tak kuasa menahan emosimu yang mungkin begitu kau sesali namun ada hal
menarik lain yang aku temukan darinya, Ia bisa menjadi jauh lebih baik dariku
dan tak mungkin untuknya melakukan kesalahan yang sama dengan apa yang
kulakukan dimasalalu. Toh pada akhirnya aku sadar bahwa tangisanmu bukan
berarti kau mencintaiku, kau hanya menyesal pernah membuat salah seorang dari
masalalumu menghabiskan hayatnya hanya untuk bermain dengan bayanganmu. Itu
sama sekali tak berhasil membayar rasa sesalku. Inilah apa ‘Cinta Sejati’ yang
mereka perbincangkan Ra. Terkadang Cinta sejati memang tak selalu berakhir
indah, sama seperti hatiku yang tak bisa mereda meskipun akhirnya Tuhan
menakdirkan aku tiada. Namun dunia dimensi itu tak mampu membuat semuanya
kembali utuh seperti semula. Dunia dimensi dan tuan Pinsil hanyalah halusinasi
dari dunia khayalanku yang kubuat. Bisa menikah dan memiliki anak kembar darimu
membuatku sadar, bahwa itu semua pernah ku fikirkan saat kita sudah tidak
bersama dan itu hanyalah impianku saja. bahkan jika ada pintu doraemon dan
mampu membuatku memperbaiki masalalu jika kau tidak ingin itu diperbaiki. Hati
manusia adalah pusaka yang mungkin bisa dikendalikan pria yang Ia cintai, namun
semuanya omong kosong jika hati yang satunya sudah tertutup untuk orang yang
pernah Ia cintai, karena semuanya akan kembali jika keduanya sama – sama saling
mencoba dan berusaha, jika hanya satu maka lupakanlah dan cobalah hidup sehat
dengan memaafkan diri dari kesalahan atau penyesalan apapun yang pernah terjadi
padanya dulu. Karena kunci awal untuk membenahi diri dan menemukan seseorang
yang mampu menarik kita dari kenangan adalah dengan memaafkan diri sendiri dari
kesalahan – kesalahan bodoh yang mungkin pernah terjadi.
Nino.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar