“Tik.. Tok..” dentingan suara detak
jarum jam menemani kesendirianku malam itu, sebilah pinsil beserta sahabat
sejatinya yaitu selembar kertas berpose kaku tepat didepan majikannya yang
tertular kaku pula. sesekali kupandangi pantulan gambar dari sepotong kaca di
kamar kost ku, disana ku temukan sosok seseorang yang kebingungan sendiri,
tanpa seorangpun yang menemaninya. Aku lambaikan tanganku kearahnya, dia juga
ikut melambaikan tangan berbalik kearahku. Ku lontarkan senyum dia juga
tersenyum walau pada akhirnya aku sadar, ada isolasi transparan yang masih bisa
kulihat dari sepotong kaca tersebut. Kemudian waktu sejenak terhenti, ruang
dikamar kost ku tidak begitu dingin, namun mendadak desis angin mencoba menari
– nari mengelilingi leherku, aku terhanyut dalam sebuah dimensi lain, dimensi
yang hanya ada AKU – AKU – DIA. Ada aku yang sedang melihat sesuatu dari masa
lalu. Hanya dimensi ini yang bisa membawaku tertawa menangis dan tersenyum
tanpa harus berubah menjadi orang lain. Dimensi dimana hanya akulah yang
mengerti, bahkan DIA sampai sekarang tidak mengerti AKU, atau aku kah yang
tidak mengertikan-nya? Seketika dimensi itu lenyap tatkala dentingan suara jam
di kamar kostku kembali berdetak. Kulihat masih pukul 20:40 Menit, ada banyak
waktu untuk kembali ke dimensi itu. ku coba raih dengan kedua tangan ku jam
dinding yang tertempel lama di kamar kost ku tersebut, debunya kemana mana
namun sejenak aku kembali terpaku menyaksikan diriku sendiri yang mencoba
kembali melangkah ke dimensi lain. Kaca penuh debu yang ada di jam dinding
kamar ku tersebut sontak membuatku tercengang, aku kembali keniat awal, dimana
aku akan menyingkirkan jam dinding tersebut dan kembali berkonsentrasi kepada
dimensi tersebut.
“Nino? Nino kan?”
“Iya ini aku. Kamu kemana aja? Aku
nyarikin kamu terus”
Saat
ini aku sudah berada didimensi tersebut, disini dingin, disini banyak gambar –
gambar yang ku rindukan sekaligus ku benci. Di dimensi ini semua berjalan
sesuai dengan alur yang ku buat, aku tuhannya. Aku bisa menghapus gambar –
gambar apa saja yang melekat pada dimensi tersebut yang tidak aku sukai,
perlahan demi perlahan, sedikit demi sedikit kemudian habis. Gambar – gambar
itu bisa dengan mudah ku hapus dengan fikiranku dan tersisalah hanya aku dan
sebuah pinsil di dimensi tersebut. Semuanya kosong, melompong. Bilik – bilik
dindingnya putih bersinar, indah namun tak menarik. Karena terlalu egois bila
aku memiliki dimensi seindah ini sendirian bersama pinsil tersebut. Tak lama,
Seseorang datang meghampiriku, dia berjalan kearahku dan aku sangat mengenali
sosoknya.
“Dara?”
celetukku dalam hati.
“Nino?
Nino..?” sayup sayup suaranya kian terdengar jelas olehku, semakin lama aku
semakin tanda dengan suara yang dari awal selalu memangil namaku tersebut.
Bayangan dara muncul dan menghilang seiring ku kedipkan kedua mataku.
“Dimensi seperti apa ini? kenapa bisa
ada dara juga?” tuturku dalam hati, tiba tiba seseorang menepuk pundakku dari
belakang, sontak aku terkejut dan berbalik badan. Betapa terkejutnya aku
melihat ternyata dara yang menepuk pundakku seperti sebuah kemustahilan bisa
bertemu dengannya yang mau menemuiku lagi. Aku kira bayangan – bayangan dara
hanyalah halusinasi saja yang tak bisa dirasakan atau berinteraksi langsung
dengannya. Aku rindu masa – masa seperti ini.
“Nino?
Mau dara bantu?” –dara.
“Bantu?”
–nino. Ada sedikit rasa bingung dicampur bahagia bisa kembali berinteraksi
langsung dengannya. Namun ada banyak alasan juga untuk tidak berlama – lama
didimensi ini. orang sakit tak akan mau bertemu dengan penyakitnya kembali
apalagi jika pada saat itu ia sedang berusaha mengobati apa yang seharusnya
sembuh.
“Kamu kelihatannya masih bingung,
mari saya bantu” jemari Dara merangkul tanganku mengingatkan ku pada sesuatu
hal yang dimasalalu, dimana saat itu aku bersama Dara berdua dan ku pegang erat
– erat jemarinya. Sontak aku membuka mata dan apa yang terjadi? Sebuah gambar
muncul, gambar saat – saat dimana aku dan Dara masih terikat hubungan dan
percis sama dengan apa yang ku bayangkan, digambar tersebut aku bisa melihat
saat saat aku bergandengan tangan dengannya dulu.
“Aku
pemilik dimensi ini, bukan kamu. Tolong dengarkan saya baik – baik” Tutur Dara
kaku.
“-Nino
mengangguk”
“Saat
ini kamu berada di dimensi khayalan, dimana dunia ini bisa menjadi milik kamu,
kamu bisa saja mengingat kejadian – kejadian yang ingin kamu ulang ataupun kamu
rindukan secara otomatis ingatan kamu akan kejadian tersebut akan dicetak
menjadi pajangan di dimensi ini, sekarang siapakah orang yang kamu lihat tepat
dihadapanmu?”
“Dara?
Kamu kok aneh gini, ini mimpi ya?”
-Dara
menggelengkan kepalanya.
“Jadi
aku terlihat seperti Dara-kah? Dengarkan aku baik – baik karena setelah kamu
mengerti aku akan hilang. Sebelum ku ceritakan lebih jauh aku mohon satu permintaan
saja padamu”
“Apa
Ra? Ngomong aja apa yang kamu mau?”
“Aku
bukan dara, aku adalah halusinasimu dimana karakterku terbentuk karena
imajinasimu yang paling kamu rindukan. Aku yakin dara yang kamu sebut adalah
orang yang kamu cintai bukan? Tapi jangan tertipu dengan wajahku, aku tekankan
sekali lagi aku bukan Dara. Aku hanya print out dari apa yang ada di fikiran
kamu saat ini. Ada satu pantangan sebelum kamu meneruskan cerita didimensi ini”
-Nino
mulai sedikit mengerti maksud dari sosok Dara tersebut.
“Oke,
Apa?”
“Jangan
pernah berkedip kearahku secara berturut – turut selama 3 kali, kamu sudah 1
kali berkedip dan itu artinya kesempatan kamu didimensi ini hanyak tinggal 2
kali kesempatan lagi. Jika demikian, kamu akan tersesat didimensi ini tanpa
mendengar aba – aba dan perintahku sama sekali, kamu mengerti?”
-Nino
menundukkan kepalanya kemudian mengangguk kearah sosok Dara tersebut.
“Begini,
didimensi ini kamu bisa buat cerita apa saja. Kamu disini adalah tuhan, kamu
yang tentukan takdir kamu disini, terserah apa saja. Namun hanya ada satu
cerita yang akan tampil di seluruh dinding didimensi ini. cerita masalalu yang
membuatmu begitu menyesal kemudian ingin mengulang atau memperbaikinya, gunakan
khayalan dan imajinasi kamu untuk mengubahnya, caranya sama dengan yang kamu
lakukan waktu kamu memikirkan kejadian digambar tersebut”
-Nino
melihat kearah gambarnya dan Dara yang sedang bergandengan tangan.
“Dan
yang terakhir.. untuk keluar dari dimensi ini kamu cukup membayarnya dengan
rasa lega dan tak akan ada lagi rasa sesal yang bersawang dihatimu. Hanya itu,
tiketnya adalah keikhlasan, kamu sudah 2 kali berkedip kearah ku saat ini,
apakah kamu mengerti?”
“Aku
mengerti, tapi kamu ini siapa? Dan bagaimana jika aku tidak berhasil dalam
perintah kamu tersebut? Aku akan mati disini?”
-Sosok
Dara menggeleng kearahnya.
“Aku
pemilik dimensi ini, jika kamu tidak berhasil kamu tidak akan mati disini, kamu
tetap keluar namun rasa sesal yang kamu rasakan masih saja ada. Anggap saja ini
adalah sebuah kesempatan halusinasi dimana kamu bisa merubah penyesalan kamu
dengan Dara dimasalalu, dengan begitu kamu tidak perlu terlarut dalam kesedihan
dan menunggu orang yang tidak lagi mencintai kamu”
-Nino
sontak mengedipkan matanya karah sosok Dara tersebut.
“Kamu
siapa? Apa maksud kamu membawaku ke dimensi ini? keluarkan aku sekarang!”
“Nino,
kesempatan kamu sudah habis. Pesanku, pergunakan kunci – kunci yang sudah
kuberikan padamu jika kamu ingin keluar dengan hadiah. Jika kamu berhasil, kamu
tidak hanya membuat sosok orang dimasalalu kamu menjadi potongan – potongan
gambar, kamu juga bisa berinteraksi langsung dengannya disini ataupun didunia nyata. Semoga berhasil”
“Tunggu
duluuuuuu!!!!!” –Nino berteriak.
Aku sendirian, hanya aku sepotong
gambar yang paling tidak aku suka, dan sebuah pinsil yang aku sendiri tak
mengerti apa gunanya di tempat seperti ini.
“Aku
pengen keluarrrr!! Tolong keluarkan aku dari tempat ini!!!!” –Nino memukul
mukulkan pinsil tersebut, namun tiba tiba saja pinsil tersebut mengerang kesakitan.
Sontak nino terkejut dan melemparkan pinsil tersebut menjauh dari dirinya.
“Hey
Nino!!! Kamu tahu betapa sakitnya harus selalu dipukul para pendatang bari
didimensi ini?!” –Pinsil tersebut berbicara kearah Nino yang histeris.
“Kamu….
Kamu kenapa bisa..???” –Nino terheran.
“Ini
dimensi khayalan! Waktu kamu kecil bukannya cita – cita kamu ingin sekali
memiliki pinsil ajaib? Akulah pinsil tersebut” celoteh pinsil tersebut.
“Ini
seperti mimpi.. Apakah aku sedang bermimpi?”
“Nama
kamu nino kan? Aku Riko, disini aku adalah ajudan kamu, aku akan
memberitahukanmu setiap hal yang tidak kamu mengerti. Ini dimensi lain dari
dunia nyata kamu. Dimensi khayalan dimana setiap orang yang terlalu lama
menangisi sesuatu hal yang ia sesali terjadi. Kamu bisa perbaiki semua hal
disini, untuk membayar rasa penyesalan yang kamu rasakan. Aku sangat terganggu
dengan pemandangan dimensi yang kosong seperti ini, mau kah kamu memulainya?”
“Kamu
ajudanku kan? Kalo begitu keluarkan aku dari
tempat ini! Sekarang juga!!” –Nino Menggerang.
“No!
aku ajudan bukan berarti akan menolongmu dengan usaha ku! Kamu yang seharusnya
berusaha untuk segera keluar dari dimensi ini, mulailah dengan menentukan
takdir mana yang ingin kamu perbaiki. Pejamkan kedua mata kamu nino, kemudian bayangkan
kejadian seperti apa yang ingin kau ulang dan kau perbaiki”
“Tapi…..”
–Nino mulai takut.
“Bukankah
kamu ingin segera keluar dari dimensi ini nino?”
Aku
mulai merasa takut, namun disela sela ketakutanku tersebut terlintas sebuah
rasa mengerti dimana aku menganggap semua ini adalah bonus dari kesabaranku
selama ini. 2 tahun sendirian dan tidak merasa sepi hanya karena perasaanku
kepada Dara yang masih ada. Dan rasa sesal yang masih kurasa tatkala dulu
pernah ku sakiti hatinya.
Aku
beranikan diri dan kupejamkan kedua mataku. Didalam khayalanku, aku memikirkan
hal terindah yang pernah terjadi dalam hidupku dan mungkin tak akan pernah
terulang lagi kecuali disini. Aku bertemu Dara kembali berkat dimensi tersebut.
===========================D I M E N
S I D I M U L A I
==============================
Ini
adalah masalalu ku. Masa dimana aku memulai semuanya, disinilah akhirnya
seorang Nino dipertemukan dengannya, Dara. Saat ini tubuhku menyusut drastis
hingga beberapa cm. kakiku masih bersih, dan dengan ukurannya yang masih sangat
mini. Wajahku bersih tanpa jerawat dan aku masih mengenakan pakaian SD.
“Think
Nino! Kamu bisa memulainya dari cerita disini, apakah kamu ingin menentukan
takdirmu untuk bertemu Dara dimasa akan depan didimensi ini? Semua itu kamu
yang tentukan! Bagaimana cerita kamu setelah kamu lewati scene ini ditentukan
dari awal cerita disini. You can do it!” –Petuah sang Pinsil yang tiba tiba
masuk kedalam dunia ku.
Aku
berada di sebuah bangku yang ada di depan kelas, aku sedikit lupa dengan cerita
ini, apakah saat itu awal aku mengenal Dara? Atau bukan? Entahlah yang jelas
memang benar, aku bertemu Dara pertama kali ketika kami masih menginjak sekolah
dasar dan Dara adalah adik kelas ku yang saat ini masih duduk dikelas 4. Ada
banyak kerumunan anak SD disini, aku bahkan bisa kembali bertemu dengan para
teman temanku ketika masih SD dulu. namun aku masih mencari – cari sosoknya,
dimana Dara? Aku melihat sekerumpulan anak kelas lain yang sedang mengganggu
seseorang. Aku mulai ingat! Ini adalah scene dimana Dara diganggu oleh anak
kelas lain, namun dimasalalu aku hanya melihatnya saja karena tidak memiliki
keberanian untuk melawan mereka karena kalah jumlah. Apakah ini adalah sebuah
caraku untuk menghapus dosaku terhadap dara dimasalalu?.
“Hey
kalian! Beraninya dengan anak perempuan! Kalo berani sini sama aku!” –Nino
kecil bertindak dengan gagahnya.
“Tolong
saya kak ,mereka jahat…” –Dara mulai merasa takut dengan ancaman mereka.
“Eh
anak satu ini! Nantangin? Kami ada 4 orang, dan kamu sendiri! Masih punya
nyali?” –Arka.
Arka?
Ternyata yang mengganggu Dara adalah Arka? Arka adalah orang yang berhasil
merebut hati Dara setelah aku. Aku bahkan benar – benar lupa akan hal ini.
“Kamu
Arka kan? Kamu tahu? Perempuan yang kamu ganggu ini akan menjadi pacar kamu
kelak dewasa nanti!”
“Nino?
Aku lupa satu hal. Ingat! Jangan pernah membuat orang dimasa ini menjadi
keterkaitan dengan masa depannya. Kamu tidak boleh mengatakan Arka akan menjadi
Pacar Dara, itu peraturannya!” –Sang Pinsil kembali memberikan arahan.
“Kamu
ngomong apa anak culun? Eh Nino kalo kamu mau jadi pahlawan Anak ini, sini uang
saku kamu semuanya buat kami, setelah itu kami tidak akan mengganggu si cingeng
satu ini lagi!”
“Kamu
janji? Jika sudah ku berikan semua uang saku ku kalian tidak akan mengganggu
anak ini lagi?” –Nino
“Iya,
kami janji, mana uangnya sini!”
Akhirnya
aku memberikan uang saku ku. Pada masa itu uang sakuku hanya 1000 rupiah, dan
demi Dara aku rela memberikannya kepada Arka dan itu artinya aku harus menahan
lapar hingga jam belajar selesai. Di cerita sebenarnya, aku menyaksikan semua
ini, namun hanya menyaksikannya saja, aku melihat Dara memberikan uangnya
kepada Arka dan akhirnya Dara terpaksa menahan laparnya hingga jam pelajaran
berakhir. Aku berhasil memperbaikinya.
Dara terbebas dari Bully-nya Arka.
Masalah baru muncul saat ini. Perutku mulai berontak karena dari sejam yang
lalu kosong melompong. Rasanya nikmat sekali melihat teman teman dikelas
tersebut menikmati makanan mereka masing – masing.
“Nino
ada yang nyarikin kamu tuh…” –Elya, teman semasa SD ku memanggil dan
memberitahukanku bahwa ada yang sedang mencariku. Tapi siapa?
“Hai
kak, maaf ya aku yang tadi Pagi diganggu kakak senior” –Dara muncul menemuiku,
ada rasa bahagia melihat scene tersebut, seandainya saja sudah dari dulu aku
lakukan ini untuknya.
“Iya
Dara kamu enggak kenapa kenapa kan?” –Nino mengkhawatirkan keadaan Dara.
“Loh
kok kakak tau nama Dara?”
“Kamu
gimana sih ra, aku ini Nino loh kita kan pernah pacar……..” sontak aku
memberhentikan percakapanku kepadanya, aku teringat perkataan si Pinsil. Diluar
dugaan aku bahkan menganggap Dara kecil adalah Dara dewasa yang pernah menjadi
bagian dari hidupku. Aku benar – benar ternostalgia dan terlarut dalam semua
ini.
“Oh,
emang tau aja kok Ra. Kamu ada apa nemui kakak? Cuma mau bilang makasih aja
kan? Kakak lanjut kedalam lagi ya?” –Nino
“Eeeehh
kak! Ini maksud Dara mau mau jumpain kakak pengen ngasih ini”
Dara menyodorkan tangannya yang
berisi kotak makanan. Didalamnya terlihat seperti roti bantal yang sangat
lezat. Ditambah dengan keadaan perutku yang sedang keroncongan. Aku & Dara
duduk tepat disebuah bangku yang berada dibawah pohon di lingkungan sekolah
kami, Dara terlihat cantik bahkan ketika masih duduk dibangku sekolah dasar
seperti saat ini. Gigi depannya terlihat ompong namun tak mengurangi ke imutan
yang aku lihat darinya.
“Maaf
ya kak, gara gara Dara uang saku kakak jadi di ambil deh” –Suara Dara melemah
“Engga
apa apa kok, lagian kakak juga emang lagi males jajan”
“Tapi
kakak kok keliatannya laper banget?” –Dara ternyata memperhatikan Nino yang
begitu lahap menyantap roti bantal miliknya.
Aku hanya tertawa kecil mendengar
pertanyaannya. Ku lontarkan senyum kearahnya dan Darapun berbalik membalas
senyum kearahku. Rambut lurus nya yang tergerai seleher membuatku semakin jatuh
kedalam cerita. Hanya ada kebahagiaan di scene saat itu, Dara masih bersikap
baik denganku, aku juga begitu bahagia bisa merubah kesalahan konyol yang
pernah kulakukan dimasa lalu. Namu tiba – tiba semuanya menghitam dan membuatku
tersadar. Seketika aku kembali keruang putih tempat awal aku masuk kedimensi
tersebut. Kulihat ukuran tubuhku sudah kembali normal dan ada Tuan Pinsil
disebelahku.
“Bagaimana?
Sudah sedikit lega?” –Sang Pinsil.
“Terlalu
cepat sekali? Aku gak puas! Aku masih pengen
dalemin cerita lagi discene itu? Bagaimana caranya biar aku bias balik
ke sana lagi?”
“Nino?
Kamu ini ngomong apa? Masih banyak scene yang indah yang akan kamu lewati. Jika
scene kamu sudah selesai kamu tidak akan bias kembali ke scene itu lagi. Kamu
sudah bahagia bisa memperbaiki apa yang salah dipertemuan awal kamu bersama
Dara dulu, tenanglah masih banyak stock yang akan kamu jalani. Kamu terlalu
larut dalam cerita, jangan sampai terbawa arus, kamu
harus ingat tugas kamu hanya memperbaiki apa yang salah, bukan hanyut dalam
nostalgia gila!”
“Selanjutnya
Bagaimana?”
“Kamu
harus Rileks dan kita akan melanjutkannya”
Kemudian aku kembali memejamkan kedua
mataku dan masuk kedalam sebuah cerita baru, cerita dimana aku bertemu kembali
dengannya namun dengan usia kami yang kian beranjak dewasa. Aku ingat dengan
tempatnya, suasananya, deraian angin bahkan wangi keadaan saat itu. Aku ingat
siapa saja yang melewati tempat ini dan aku bahkan ingat dengan kejadian dimana
aku dipertemukan kembali dengannya setelah kami lulus dari sekolah dasar yang
sama. Ini adalah ruang dimana aku melihatnya kembali setelah beberapa tahun aku
lupa akan sejarah tentangnya, tanpa hari ini semua kejadian dimasalalu tak akan
pernah terukir indah didalam hatiku.
“…..Dara
bukan?” tegurku sembari memperhatikannya yang sedari tadi sibuk memilah milah
buku yang ada ditoko buku tersebut. Tentu saja Ia masih memakai seragam putih
abu – abu yang sama dengan ku. Namun kami berbeda sekolah. Dara memperhatikanku
dengan seksama, matanya seakan akan mencoba mempertanyakan pada dirinya
siapa-kah orang yang tepat berada didepannya saat ini.
“Iya,
Siapa ya?” Dara memberhentikan sejenak kesibukannya, Ia mencoba berkonsentrasi
dengan menatapku. Hatiku tertawa kecil melihat kejadian itu, tanpa kusadari..
Aku menangis dengan sendirinya tepat didepannya, Dara.
“Hey,
maaf. Kenalin aku Nino abang kelas kamu dulu waktu di SD, ingat?” Kami saling
menjabat tangan, ada maksud berbeda antara setuhan tanga yang ku rasakan. Aku
benar – benar ternostalgia dengan semua ini, ini tak ada yang berbeda dengan
kejadian dimana dulu aku bertemu dengannya ditempat ini. Bahkan sesekali aku
sering ketempat ini kemudian bernostalgia dengan kenangan yang berotasi di
depan pengelihatanku.
“Nino?
Maaf agak lupa. Eh itu kenapa kok nangis?” Dara terheran melihat linangan
airmataku yang tak sengaja melintas dipipiku.
“Oh,
ini tadi kelilipan debu. Iya maklum lah kamu lupa sekarang juga uda gede, Nino
rasa kalau di ganggu Arka juga uda berani dengan sendirinya ngelawan”
“Arka?
Eh tunggu dulu. Kamu abang kelasku yang pernah ngebantu aku waktu Arka gangguin
aku kan? Iyaa Dara baru keinget, duh maaf ya maklum faktor usia juga nih jadi
sering kelupaan. Abang apa kabarnya? Sekolah dimana sekarang?” Kerinduan itu
kian terasa saat kulihat keramahan dan penghargaan yang pernah Dara berikan
pada orang sepertiku. Dia masih menghargaiku, tidak membenci bahkan kurasa
senang bisa bertemu denganku. Seandainya ini sama dengan kejadian nyata…
“Nah,
itu inget? Hm gimana kalo kita ceritanya sambil minum? Abang deh yang traktir,
mau?”
“Boleh,
bentar ya Dara bayar buku ini dulu”
Sejenak
ada rasa bahagia yang terisolir ketakutan. Dara kelihatannya sangat antusias
bisa bertemu dengan salah seorang pahlawannya ketika kecil dahulu. Apakah aku
bahagia bertemu dengan boomerang ku dimasa depan?
Aku
ingat tempat ini, ini tempat kesukaan dirinya. Disinilah awal perbincangan kami
yang menjurus semakin mendalam. Sebulan.. Dua bulan.. Tigaa.. Empat.. Lima..
Enam.. Tujuh.. Delapan.. & kemudian sendiri. Ya selama masa bersama, aku
dan Dara banyak menghabiskan waktu ditempat ini. Itu makannya ini menjadi saksi
bisu kesakralan cinta yang pernah kami rajut bersama.
“Oh
jadi sekolahnya disitu sekarang? Oh iya ngomong – ngomong masih inget ya masa
kecil dulu? tapi makasi banyak loh bang udah bantuin Dara dari sikunyuk itu.
Kadang suka geli kalo teringet dulu..” –Dara.
“Inget
dong, sejarah itu ga boleh dilupain gitu aja. Ya contohnya bisa jadi guyonan
masa sekarang kan? Kamu sendiri aja kesini?” –Nino.
“Hem, tapi kan ada juga sejarah yang ga harus
diinget. Harus di lupain bahkan mungkin yang baik dari yang terbaik?” Dara
memberhentikan waktuku. Ia seolah olah mencoba mengingatkanku tentang bagaimana
kesakitan yang Ia rasakan dulu ketika bersamaku. Rasanya benar benar menyesal
pernah menyia – nyia kan orang seindah dirimu, Dara.
“Eh,
maaf bang jadi curhat gini sih. Aduh jadi malu Dara. Iya Dara kesini kebetulan
sendiri, Cuma mau beli buku ini doing kok bang, kalo abang?” Buku Edelweiss
yang Ia pegang juga menjadi saksi bisu awal pertemuan kami. Buku yang selalu
menginspirasinya, Ia ingin sekali bisa abadi seperti bunga Edelweiss, bunga
yang tumbuh di pegunungan yang tinggi dan hanya beberapa orang beruntung yag
bisa memilikinya.
“Oh
kebetulan sekali, bisa pulang bareng dong?” Sontak aku tertegun. Aku ingat di
sini Dara masih memiliki seorang pacar. Dan tentu saja Ia sudah terlebih dahulu
membuat janji untuk pulang bersama Dalan, Pacarnya.
“Duh
maaf bang, Dara kebetulan uda ada janji pulang bareng sama temen Dara. Maaf
ya?” –Wajah Dara memelas.
“Oh
iya gak masalah, oh iya boleh tau No. Handphone kamu ga? Yaa sekedar buat
nyambung tali silaturahmi yang uda lama ga kesambung?”
“Boleh
kok bang, Ini kartu nama Dara”
Dara
memberikan kartu namanya kepadaku. Bahkan kartu namanya saat ini masih ku
simpan rapat – rapat, tak ada keikhlasan untuk membuang ataupun memusnahkannya
sama seperti hatiku yang masih begitu merasa kehilangan sosok wanita
sepertinya. Aku berpamitan untuk melangkahkan kaki dan pulang meninggalkannya.
Namun bukan pulang yang benar – benar pulang. Aku bersembunyi dan terus saja
memperhatikannya yang sedang menunggu Dalan pacarnya, tak berselang lama
akhirnya Dalan muncul dan menarik tangan Dara. Terselip kebahagiaan yang
kulihat pada raut wajah Dara begitu melihat sang pacar menjemputnya. Aku hanya
bisa terdiam dan terpaku, rasanya begitu iba melihat kenyataan diri sendiri tak
mampu mengetahui apa yang saat ini terjadi. Seandainya saja….
Waktu
kembali berbalik pada rotasinya, aku kembali berdua bersama dengan tuan
pinsil.kulihat sudah muncul beberapa gambar baru yang menghiasi kekosongan
dimensi tersebut.
“Kalau
saja pada kenyataannya kamu sudah menolongnya dari orang yang pernah menjahatinya,
mungkin pertemuan kalian akan lebih indah dari apa yang kau rasakan saat ini”
Tutur tuan Pinsil kearahku.
“Iya
aku mengerti, sudah terjadi tak akan terulang lagi di kenyataan hidupku”
“Kamu
menyesal karena apa? Karena pertemuan pertama ini? Seharusnya kamu berbahagia”
“Bukan,
aku bukan menyesal..”
“Jadi?”
“Aku
hanya takut apakah setelah ini selesai aku bisa bertahan di kehidupan nyata
dengan semua hal yang saat ini ku lewati?”
Paman
Pinsil tersenyum kearahku, Ia mencoba memberikan kekuatan kepada manusia yang
putus asa ini.
“Duduk
lah sebentar, akan kuceritakan sesuatu hal dengan anak – anak yang berhasil
melewati dimensi ini”
“Mereka
yang berhasil tidak bertumpu pada sebuah kenyataan yang ada, optimistic yang
mereka punya membuat arah pengelihatan mereka meruncing menjadi suatu hal yang
mereka nikmati, banyak yang menangis namun mereka mampu mengartikan airmata
yang terjatuh sebagai tetesan kebahagiaan yang dulu begitu saja mereka lewati.
Kamu juga harusnya bisa berfikir seperti mereka, anggap saja disini kamu hanya
memperbaiki bagian rumah yang rusak akibat gempa, buanglah puing – puing itu
dan berfikirlah bahwa sesuatu dengan keihklasan akan berbuah manis. Bukan kah
Dara juga yang mengatakan kalimat itu padamu?”
Aku
menangis. Aku tak mengerti, aku ingin melewati ini namun sakitnya luar biasa.
Sesak didada bergumpal membelengguku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Banyak
sekali hal yang ingin ku lewati lagi bersamanya, namun kenyataan tetaplah
kenyataan. Seandainya aku Tuhan, mungkinkah ku perbaiki ini semua? Mungkinkah
ku takdirkan seorang Dara untuk kembali lagi mencintaiku? Atau mungkinkah pada
akhirnya aku mati dengan penyesalan dan kebohongan yang sengaja kuciptakan
untuk mengelabui semua orang?
“Menangis
tidak lebih baik dari membekukan waktu jika dalam tangisan itu kau hanya
berharap apa yang kau inginkan bisa terjadi”
Dear Nino..
“Waktu
ga akan pernah kembali jika terus berjalan ditempat saja kamu ga akan pernah
mendapatkan kebahagiaan lagi”
“Jika
aku mampu, aku pasti akan melakukan hal yang kau inginkan, Namun jika terjadi
hanya untuk menyakitimu untuk apa?”
“Aku engga
ngarep pertemuan kita bakal buat ceritanya ribet gini, gini aja deh aku uda
punya orang kita uda tentuin jalan kita masing masing & itu kamu yang
tentuin!
“Semua
orang pernah belajar dari rasa sakit no, namun buat mereka rasa sakit adalah
tabiat dari kesalahan yang membantu mereka merasa menyesal”
“Aku
yakin, kita akan bertemu disimpang jalan dengan sisi lain dari hati orang yang
kita cintai, bukan hati kita”
“Pria
sepertimu layak mendapatkan wanita yang lebih baik dari seorang ‘AKU’ “
Hai Dara? Ternyata memahami
falsafah kehidupan yang diseliri oleh cinta lebih sullit dari menjabarkan rumus
algoritma ataupun aljabar. Lebih baik seorang Nino diberi pilihan minum susu
atau makan daging kodok dari pada harus memilih hatiku atau hatimu. Semua orang
pernah gagal dan melangkah ataupun mundur keanak tangga setapak lagi adalah
pilihan masing – masing. Namun untuk seseorang sepertiku pasti akan memilih
melangkah pergi dan tersadar dari mimpi panjang, namun sepertinya kata “Move On”
ga cukup buat ngeyakinkan diri untuk terlepas dari kebodohan. Kata kata diatas
adalah balada darimu dulu, kata kata yang timbul setelah aku hancurkan
perasaanmu yang begitu besar padaku dulu & setelahnya aku menyesal pernah
menyia nyiakan penghuni surga sepertimu. Tapi……………..
Rasanya tidak adil melihatmu bahagia
bersamanya dan kenyataan aku yang melihat kebahagiaanmu dengan orang yang saat
ini kau cinta, itu sama saja dengan aku menjarit – jarit lenganku dengan pisau.
Awal pertemuan di SD, Hingga perkenalan selanjutnya sampai akhirnya ku dapatkan
hatimu lalu kusakiti dan kusesali, aku sekarang sadar akan scenario Tuhan yang
sengaja ingin menciptakan karakterku yang lebih baik dikedepannya. Aku belajar
untuk kehilangan hal kecil untuk kehilangan hal yang lebih besar. Aku tak benar
benar kehilanganmu kan?
Kau masih disini, hanya perasaan
kita saja yang tidak lagi berotasi sama.
BERSAMBUNG……..